LIVEN UP THE NAME


Selasa, 19 Januari 2016. Kala hujan begitu membantu mengalirkan pikiran-pikiran yang tersumbat...

Apa ya yang terlintas dalam benak Ayah dan Ibu saya dulu hingga menamai saya Masytah? Membayangkan mungkin akan seru sekali ketika nama yang tersemat dalam KTP atau nametag adalah Maxine (misalnya) maka panggilan sehari-hari saya adalah Max, uhh... keren dan bercita-rasa internasional sekali meskipun agak sulit menerima kenyataan bahwa nama itu pasti bertabrakan lenting sempurna dengan proporsi wajah Ras deutroid-Melayu. Atau mari berandai-andai bahwa nama saya adalah Ratih atau Syahrini sekalian, Indonesia-punya, tidak akan begitu memancing orang lain menanyakan artinya, dan kecuali efek terburuk bahwa saya akan sewaktu-waktu bergerak maju-mundur-cantik harus dapat dikendalikan.  

Apalah arti sebuah nama, ungkapan umum yang menurut saya saking umumnya sampai mengalami distorsi makna. Kemudian mulailah orang-orang berlomba menyematkan nama pada anaknya dengan berpanjang-panjang kata namun mencakup makna-makna yang ala kadarnya. Tadinya juga saya pikir begitu, memberi nama hanya labelling saja untuk membedakan si A asalnya dari mana, mana antara si A atau si B yang memiliki physical appearance tertentu, antara si B atau si C koas gigi yang punya hobi menghilangkan spatula alginat orang lain, dan antara si D atau si E yang berbakat membuat dosen jaga kehilangan mood. Tidak sesederhana itu rupanya. Di sisi lain banyak cerita tentang pasangan muda yang kala menyambut kelahiran anak harus merevisi berulang kali susunan nama anak mereka. Mulai dari browsing, menukil dari buku nama-nama islami, hingga minta dibuatkan nama oleh pak Kyai. Menginjak trisemester pertama nama direvisi karena artinya kurang linier. Trisemester kedua direvisi lagi karena mendapat masukan dari Ayah mertua. Trisemester ketiga, nama anak tinggal dua kata karena jika terlalu panjang kasihan saat ujian nasional. Menginjak usia 5 tahun diganti lagi, lantaran anak mereka yang bernama Abdul Hamid (Hamba yang memiliki perbuatan terpuji) justru tumbuh menjadi anak yang (terlalu) aktif untuk memecahkan piring, melukis di tembok ruang tamu atau paspor Ayah, mengacau saat sholat jamaah di Masjid, menjadikan harapan yang termaktub dalam nama sang anak agaknya jauh dari kenyataan. Repot bukan main perihal nama ini.

Hal yang perlu digarisbawahi memang hampir semua orangtua memiliki harapan yang jika tidak boleh disebut muluk, maka saya sebut super-ideal. Ingin anaknya menjadi ini, menjadi itu, minimal tidak mengulangi kesalahan orangtuanya. “Menjadi manusia yang bermanfaat bagi Negara, Bangsa dan Agama”, lalu tumbuh besar menjadi supplier jamu pegel-linu. Tentu tidak ada yang salah dengan hal itu, jangan khawatir, saya tidak memiliki tendensi apapun ataupun sentimen tertentu terhadap supplier jamu pegel-linu (apaan siih T_T). Jalan hidup setiap orang sudah digariskan. Dan sama sekali bukan berarti kita hidup hanya untuk memenuhi harapan orangtua. Tapi sebagai manusia, makhluk yang diberi kehendak bebas menentukan setiap jengkal keputusan, bahwa sepenuhnya kita boleh menjadi apapun dengan segala konsekuensinya, maka apa kita tidak ingin menjadi seseorang yang baik? Manusia yang hidup dengan seperangkat values, lebih dari itu, manusia yang berjalan di jalan yang benar?
***

Hazaqil menjerit menekuri rasa sakit hebat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Kini nafasnya tercekat, tersengal-sengal, tenggorokan sangat jauh dari air, bahkan sulit rasanya hanya untuk meraung. Tangannya terangkat keatas terbebat kuat di pohon kurma dengan serangan puluhan anak panah yang melubangi tubuhnya. Sebagai orang kepercayaan Fir’aun, tidak pernah menyangka ia bahwa konsekuensi mendebat keputusan Fir’aun yang menjatuhi hukuman mati bagi ahli sihir yang menyatakan keimanan bagi agama yang dibawa Musa, akan membuatnya diberi hukuman yang serupa. Tidak tahu-menahu ia apa yang akan menimpa keluarganya sepeninggalnya, Istri dan anak-anak yang begitu dikasihihnya. Hanya do’a yang mengalir pada satu-satunya Tuhan yang ia imani, bukan Fir’aun, sama sekali bukan.

Di istana kala itu lengang, Siti Masyitoh yang baru saja kehilangan suaminya begitu ngilu hatinya namun ia tetap mengabdi pada putri Fir’aun, berharap tetap amanlah ia memegang teguh keyakinan sebagai seorang muslimah. Saat Ia menyisir rambut sang Putri, jatuhlah sisir itu dan terucap oleh jiwa yang penuh dengan keimanan “bismillah..”. Tertegun Putri Fir’aun dan bertanya untuk menegaskan, “ Bukankah yang engkau maksud tadi itu adalah Ayahku?”. Siti Masyitoh tidak bergetar hatinya. Keimanan yang bak muara dari empat sungai yang saling terpaut yakni hati, pikiran, perkataan dan perbuatan tidak terbendung dan terluap dalam jawabannya “Bukan, Tuhanku bukanlah Ayahmu, Yaitu Rabbku, juga Rabb ayahmu, yaitu Allah. Karena tiada Tuhan selain Allah..”. Genderang perang seolah tengah ditabuh. Putri Firaun tidak akan bisa mentolerir seorang pengkhianat yang tidak mengimani Ayahnya, pengikut Musa yang rupanya masih berakar keyakinan dalam jiwanya. Mendapati masih ada pembangkang yang parahnya adalah orang dalam Istana, Fir’aun geram. Raja bengis yang pada akhirnya berakhir dengan sebuah prestasi terukir namanya di dalam Al-Quran sebagai manusia yang berjalan di muka bumi dengan kesombongannya, memanggil Siti Masyitoh untuk menghadap.

Sebuah penggorengan raksasa -yang dikisahkan sebagai neraka buatan (artificial Hell)- dengan timah panas yang menggelegak diperlihatkan untuk menggertak pondasi keimanan Siti Masyitoh. “Kau tahu dengan mudah aku bisa mengampunimu saat ini juga jika kau mau berhenti mengimani Tuhannya Musa...” saya yakin Fir’aun adalah salah satu kelompok manusia yang mengidap obsessive-compulsive-disorder dan gangguan jiwa lain nomer kesekian. Tidak terlintas sedikitpun dalam pikirannya bahwa besar sekali peluang ia terjangkit flu yang sama sekali tidak bisa dikendalikan atau kita buat saja skenario Fir’aun terpeleset kulit pisang misal, lalu mengalami trauma kapita berupa fraktur basis cranii dan meninggal. Tapi Allah tidak berkehendak begitu. Sikapnya yang melewati batas membuat Fir’aun menjadi teladan yang sempurna bagi mereka yang sombong dan bebal dalam menerima kebenaran.

Siti Masyitoh tidak satu derajat-pun bergeser keyakinannya, hingga saat ia melempar pandang pada sosok yang begitu ia sayangi diseret paksa ke depan wajahnya. Mereka sama sekali tidak dapat menyembunyikan raut ketakutan, terasa sudah kengerian kulit yang mengelupas hanya dengan melihat timah panas sebanyak itu di hadapan mata. Setiap orang punya titik tekan, seperti yang dilakukan Magnussen untuk mendapatkan kekuasan dari Mycroft Holmes maka ia harus mendapatkan kartu hidup Mary Watson yang merupakan titik lemah John Watson, john Watson adalah titik tekan Sherlock Holmes dan Sherlock Holmes adalah titik tekan Mycroft Holmes. Sebuah contoh yang kurang nyata namun setidaknya menggambarkan analogi bahwa titik tekan Siti Masyitoh adalah anak-anaknya. Naluri keibuan akan melemahkannya, begitu pikir Fir’aun.

Si sulung yang pertama kali dilempar. Seolah tengah diambil separuh dari jiwa Masyitoh. Lalu yang kedua hingga yang terakhir, si bungsu yang masih menyusu. Disinilah ia mulai goyah, bayinya yang mungil bahkan belum bisa bicara. Tiba-tiba bayi Masyitoh meyakinkan ibunya, “Sabarlah wahai ibuku, sesungguhnya kita dalam pihak yang benar. Wahai ibu masukanlah, karena sesungguhnya siksa dunia lebih ringan daripada siksa akhirat.’’ (HR Ahmad). Ada tiga bayi dalam riwayat yang diberi kemampuan berbicara yakni Nabi Isa AS, bayi yang menjadi saksi kisah Nabi Yusuf AS yang difitnah Zulaikha, dan terakhir bayi Siti Masyitoh. Allah telah membuktikan kepada hamba-hamba-Nya yang istiqamah. Ketika Masyitoh dan anak- anaknya dilemparkan satu persatu ke periuk, Allah terlebih dahulu mencabut nyawa mereka sehingga mereka tidak merasakan panasnya minyak mendidih.Tulang belulang Masyitoh bersama anak-anaknya dikubur di suatu tempat hingga mengeluarkan wangi yang sangat harum. Aroma itu tercium oleh Rasulullah SAW ketika perjalanan Isra Mi’raj. “Itulah kuburan Masyitoh bersama anak-anaknya,’’ kata Malaikat Jibril (HR. Ibnu Abbas).

Berat, sungguh berat meneladani siti Masyitoh. Terasa seribu kali lebih berat setelah membaca kisah hidupnya. Dengan kadar iman yang masih saya rasakan ala-kadarnya dan belum bisa dibanggakan, berulang kali saya berpikir untuk ganti nama saja. “Putri Ayu” kedengaran lebih mudah untuk disandang. Apa yang saya lakukan jika saat itu saya yang harus dihadapkan dengan bejana penuh minyak timah yang panas? Mungkin saya hanya menangis dalam doa sembari melempar potongan-potongan nugget ayam sekedar untuk mengecek titik didih dalam penggorengan itu. Berbeda dengan Siti Masyitoh. Ia  adalah seorang wanita yang mulia, kuat jiwanya, hanya takut pada Allah, dan mencintai Allah sebelum mencintai yang lainnya bahkan anaknya sendiri.
          
           Allah swt akan meneguhkan orang-orang yang beriman ketika mereka dalam kondisi membutuhkan keteguhan tersebut. Sebab, ujian itu sunnatullah. Pasti akan datang kepada setiap orang yang mengaku beriman. Fir’aun dapat membunuh jasadnya tapi tidak dapat membunuh ruhnya dan menggenggam keimanannya. Maka jika seringkali teman bertanya arti dan makna nama saya, saya taksir akan butuh seharian menceritakannya, maka tidak perlu berpanjang-lebar bahwa Siti Masyitoh adalah juru sisir yang berakhir di minyak panas dan penggorengan namun kuburannya semerbak wangi karena membela agama Allah dengan keimanan yang kokoh, murni dan utuh. Sedangkan Masytah adalah wanita yang sedang tersaruk-saruk berusaha meneladani ketaqwaan Siti Masyitoh yang terasa terlalu timpang jika harus dibanding-bandingkan, kapanpun itu. Kami memang terpisah dengan jarak historis namun semoga Allah izinkan kelak saya bertemu dengannya di Surga, Aamiin.

Sumber:
2.      http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/06/16/m5pmjx-siti-masyitoh-syahid-demi-iman

Komentar