BEING A PATIENT FIRST, BEFORE BEING A DENTIST


April, 2014
            Jika dirunut kenapa saya ditakdirkan “terdampar” di jurusan kedokteran gigi sebenarnya bukan hal yang begitu di luar perhitungan. Pertemuan saya dengan kedokteran gigi sebenarnya telah lama jauh sebelum saya menjadi mahasiswa, yakni sebagai pasien. Mulai dari tambal gigi, cabut gigi, peranti lepasan ortho, perawatan saluran akar, SRP (Scaling-Root Planning), hingga saat ini saya memutuskan menjalani perawatan ortodonsia dengan peranti cekat atau istilah populernya (di kalangan tukang gigi) pasang behel. Singkatnya hampir semua departemen sudah pernah saya “kunjungi” dan saya pun telah bertemu dengan banyak operator. Banyak orang yang memutuskan memakai bracket/behel untuk alasan estetik semata. Bagi saya biaya untuk perawatan ini sangat tinggi dan tidak mungkin saya mengambil keputusan ini demi “biar kelihatan lebih cantik aja”. Nyatanya saya telah kehilangan molar pertama RB dan susunan gigi anterior menyebabkan munculnya sariawan rekuren (RAS) yang cukup mengganggu, akhirnya ya memang butuh perawatan ortho. Saya tiba di klinik dokter spesialis ortho yang juga dosen saya sendiri dengan seperangkat model studi, foto pano dan sefalo (luar biasah). Ini untuk efisiensi waktu, toh saya juga sudah paham apa saja yang dibutuhkan untuk pra-perawatan orto. Akhirnya diputuskan saya harus merelakan Premolar 2 RA kanan kiri untuk diakhiri kehidupannya alias dicabut. Saya putuskan saya akan cabut di RSP tempat saya akan menjalani profesi beberapa minggu kedepan. 
Lamat-lamat saya pandangi wajah dokter Ester dari balik jari jemarinya yang menutupi wajah saya. Air mukanya menggambarkan tekad bahwa apapun yang terjadi beliau akan mengeluarkan sisa akar dalam soket ini. Saya hapal bagaimana tatapan fokus seorang operator ekstraksi. Mereka yang awalnya ramah dan lembut bak teller bank dapat berubah karakter menjadi warrior yang akan berjuang sampai titik akhir. Dari sela-sela jari dokter Ester juga dapat kulihat banyak sekali kakak koas yang sedang break (atau memang nganggur) mengerumuniku sekedar meihat bagaimana nasib gigi 15 ini kelak. Suatu keadaan yang tidak begitu membuat saya nyaman, namun sekali lagi bagi para pasien hendaknya 100% sadar bahwa rumah sakit pendidikan adalah tempat pendidikan juga jadi jangan samakan ketika di private clinic memang tidak akan ada mahasiswa yang antusias untuk belajar atau sekedar melihat tindakan yang dilakukan supervisor. 
Dari awal terlihat bahwa sang operator ini mungkin sedikit hurried, karena selepas ekstraksi ia harus menghadiri ujian Radiologi. Hitungan stopwatch dimulai, ritual khas dari DOPS adalah batas waktu tindakan cabut. jarum syringe anestesi telah melandas di gusiku. Apakah saya panik? Tidak. Kebetulan saya pernah 2 kali mengalami pencabutan gigi, lagipula rasa panik hanya akan menyulitkan operator dan pasien sendiri, bisa jadi injeksi terasa lebih sakit dan much more bleeding. Jadi santai saja. Depoonernya pun terasa agak terburu-buru, padahal masuknya obat anestesi itu sakit loh. Belum-belum operator sudah bertanya “udah tebal kah?”...“belumlah, setidaknya tunggu 3 menit”. Setelah mukosa terasa baal (tebal), langkah selanjutnya adalah menyibakkan gingiva menggunakan ekskavator sehingga mempermudah pencabutan. Setelah itu luksasi arah palatal-bukal. Ia menggunakan segenap kekuatannya menggerakkan gigi itu. Kepala sudah difiksasi tapi masih terasa “bergoyang-goyang”. Ini cabut rahang atas kenapa yang difiksasi angulus yak? Hehe. dia terus mencoba dan mencoba. Satu hal yang harus pasien lakukan saat dokter strugling seperti ini adalah berusaha menenangkan diri, tarik nafas dalam, dan berdoa. Seringkali keberhasilan perawatan memang ditentukan salah satunya kekooperatifan dan kedewaasaan pasien. In fact, terdapat banyak faktor yang menentukan sebuah gigi dapat tercabut cepat atau lama. Lagipula Mas operator ini kenyataannya telah menjadi senior di departemen BM, we have to put in trust in him.
Ungkitan bein yang terasa hingga gigi sebelah bergantian dengan luksasi dengan tang cabut terus-menerus berulang. Operator bersikeras menyelesaikan ekstraksi ini sesegera mungkin, namun gigi tak kunjung goyang. Ia menjadikan wajah saya tumpuan. Tangannya menutupi hidung sehingga menekan kacamata dan membuatku sulit bernapas. Saya minta izin melepas kacamata. AC ruangan ini mati pula. Kulihat bulir keringat muai bercucuran. Operator membuka dan menutup jari jemarinya sembari melakukan gerakan peregangan untuk mencegah carpal tunnel syndrome dan low back pain yang sering mendera para dokter gigi. Kelak suatu hari saya hapal betul bagaimana rasanya mencabut gigi poterior RA, leher dan lengan bisa linu luar biasa. Kudengar ia sesekali mengeluh “ah, belum nih” “ oh my Godness”. Beberapa rekan koas yang ada di ruangan itu terus menyemangatinya. Tapi gigi ini benar-benar belum bisa ditaklukkan. Bergeming pun tidak. 
Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka “jangan pake bein, inget itu pasien orto.” Dokter ester menengok anak didiknya. Dua kali sudah operator kehilangan tumpuan dikarenakan tekanan yang besar itu, tang terpelesat dan menabrak gigi yang lain. Mahkota patah dan terdengar suara “TAKK!!!”. Freeze 2 detik. Operator memandangi wajah rekan-rekannya sambil menggelengkan kepala. Tanpa bertanya pun saya sudah tahu apa yang terjadi. Kemungkinan selanjutnya dari sisa akar yang tertinggal adalah pembedahan dengan membuat flap dan bur tulang alveolar. Tapi itu lebih save dan pencabutan dapat segera  Dokter ester memasuki ruangan. Dengan take over dokter ester sebagai instruktur, menandakan bahwa jelas operator gagal dalam ujian dops kali ini. Operator nampak begitu lelah. Siapa yang mengira gigi premolar 2 yang sehat wal afiat dapat sebegitu kuatnya menancap pada rahang manusia?. Ia pasti mengira awalnya karena gigi ini utuh, luksasi sedikit mungkin sudah lepas. Tapi kenyataannya begitu lain. Sudah saya katakan masing-masing anatomi gigi pasien bisa begitu technically challenging dalam tindakan ekstraksi.  Mahkota gigi patah dan meninggalkan sisa akar dalam soket yang dalam. Hal ini akan sangat melelahkan. 
“Halo, kok wajahmu sedih begitu Ta???”. Seperti biasa dokter ester akan berusaha mencairkan suasana. 
“ hehe, enggak Dok cuma capek buka mulut aja” saya pun berusaha tetap relax. Tapi tidak berhasil.
“Kamu angkatan 2010 kan? Sebentar lagi OSCE hayo, hii” nadanya seperti menakuti anak TK dengan cerita pocong keramas (emang ada?). 
Pertarungan kembali dimulai. bein dan tang cabut secara bergantian masuk ke rongga muutku. Gemeletuk alat-alat ini jelas terdengar. Rasa ungkitan yang dalam juga bertubi-tubi menyerang. Dokter Ester mulai mengalunkan nada-nada lagu klasik. Entah apa judulnya, karena aku belum pernah mendengarnya. Little bit chill me out.
“siapkan handpiece dan bur” perintah untuk mengurangi tulang alveolar. Asisten 2 terbirit-birit mengambil alat. Kepala masih difiksasi daam posisi mendongak seperti bintang iklan minuman penyegar tenggorokan. Suara bur, aroma tulang yang mirip dengan ban bakar, ditambah para koas yang semakin banyak berkumpul dan berbisik-bisik, sempurna nan paripurna sudah, melengkapi ketidaknyamanan ini. Saya akhirnya sedikit kesal juga. “Apakah dokter Ester sedang menampilkan pertunjukan debus???” tanyaku dalam hati.
“Ambilkan tang bayonet dan sisa akar premolar atas” perintah sang jenderal kembali didengungkan.  Dalam titik klimaks ini, seorang pasien harus makin relaks, tidak boleh ada celah untuk syncope. Jika sudah mulai sakit, sampaikan agar ditambah obat anestesinya. Jangan ditahan, karena rasa sakit yang parah dapat menyebabkan syok neurogenik. 
 “Sabar ya sayang...ini agak susah memang”. Ah dokter yang baik memang selalu meneentramkan jiwa para pasien yang ketakutan.
Bunyi “krekk!” dan “krekk!” terdengar sesekali hingga manuver terakhir menggunakan tang akhirnya berhasil membuat sisa akar ini terlahir dan melihat dunia. Dokter ester mengangkatnya tepat dihadapan mata para Pemirsa. “nih, biang keroknya udah keluar” kira-kira begitu maksud ekspresinya. 
“jika harus memilih, interdental papil dapat dikorbankan ketimbang tulang alveolarnya. Jahit sedikit di sebelah sini”perintah terakhir. Operator lega sekaligus nampak tempias. DOPS gagal dan telat ujian. Komplit sudah. Ia menjahit gusiku dengan gelagat yang masih terburu-buru. Sesudahnya aku diberikan resep dan langsung pulang.
        Tentu sebagai mahasiswi kedokteran gigi saya tidak bisa hanya sebagai pasien tapi juga otomatis komentator dan evaluator setidaknya untuk diri saya sendiri apa saja yang perlu saya persiapkan saat menjadi operator kelak. Saya banyak belajar sebagai pasien dan dokter. Pasien yang punya full trust ke dokter memang akan lebih memudahkan tindakan dan perawatan selanjutnya. Kapan pasien akan merasa sakit, kapan harus segera menenangkan pasien, apa yang seharusnya lebih diperhatikan sudah saya simpan filenya di kepala. Jadi nanti kalau saya mau mencabut gigi pasien "tenang, saya sudah empat kali dicabut, saya tau persis rasanya...."

Komentar

  1. Harrah's Resort Southern California - Mapyro
    Find 오산 출장샵 harrahsresortscasino.com in Valley Center, 전라남도 출장마사지 CA, United States and 전주 출장샵 see activity, reviews 광양 출장안마 and ratings for Harrah's Resort Southern 바카라 사이트 California, a Native American

    BalasHapus

Posting Komentar