CREST


Rabu, 6 Agustus 2014, menulis dengan setengah terlelap...
Perihal ujian IKGMP, persiapan stase Anak (IKGA), revisi laporan RSUD kepanjen, akomodasi ke Hong Kong, dan urusan wisuda telah menjadi benang kusut yang terselip dalam kepala saya. Tidak cukup itu, dr Bobi menambahkan sedikit sensasi petir yang berhasil meningkatkan cairan intrakranial saya, berupa “instruksi” untuk presentasi besok kamis pagi. Saya menyebutnya, sempurna haha. Saya mulai browsing dan mengerjakan semampunya. Hari ini saya jaga sore bersama Della dan Lusi. Rencananya sekalian saja bawa laptop biar bisa nyicil di red zone. 
Walaupun lagi banyak PR dan sisi lain saya super nganggur di IGD, tapi saya selalu menikmati saat-saat jaga terutama di red zone. Satu detik di IGD selalu terasa lebih lama (makin nyata karena efek nganggur tentunya) sekaligus terasa lebih bermakna terutama pas bulan puasa macam ini. Hanya dengan mengamati sekilas beberapa pasien yang secara teknis hidupnya bergantung dari ventilator (dan secara harfiah manusia memang selalu bergantung padaNya) membuat saya banyak bersyukur,  berkesempatan bertemu orang-orang yang sedang direnggut nikmat sehatnya membuat saya merasa sangat beruntung dapat menghirup nafas semau saya, dapat melangkahkan kaki kemanapun saya ingin, mengungkapkan rasa sayang pada keluarga dan teman kapanpun saya inginkan. I don't wanna be a person who forgot to be thankful...
Saya turun ke IGD setelah berganti baju OK super lebar rasanya seperti memakai sprei. seperti biasa, saya mengintip-intip ke red dan yellow zone melihat seberapa banyak pasiennya, seberapa heboh suasananya, sejauh ini lengang saja. Keberadaan para koas gigi ini sangat terpampang nyata karena kami mengenakan baju OK berwarna hijau yang sangat kontras dengan pakaian perawat dan dokter disini yang berwarna biru muda. Tugas kami memang bergentayangan, menunggu giliran infus atau CPR pasien yang hampir beranjak nyawanya. Hari ini saya lebih memilih duduk dan mengerjakan presentasi. Saya sapa dr. Anna, berlari membiarkan rambutnya awut-awutan, mengecek kondisi pasien, mengisi RM, mengangkat telepon dsb. Saya lirik text book dr. Anna tergeletak meraung-raung mengiba minta saya buka. Saya bisa tahan untuk tidak melirik nut butter cookies di hadapan saya, tapi tidak untuk buku semenarik itu.  Maka langsung  saya baca, sampai lupa belum izin *hehe parah. Buku ini adalah buku saku emergency medicine. Saya cari topik head trauma dan ketemu! Didalamnya saya temukan kalimat-kalimat yang ditebali dengan stabilo kuning, catetan kecil, sobekan lembar keterangan obat, seakan saya adalah Harry Potter yang menemukan buku harian Tom Riddle, tiba-tiba dapat saya bayangkan bagaimana dokter ini belajar begitu kerasnya karena tiap hari terpapar dengan begitu banyak pasien dengan kasus multidisiplin. Saya mengetik beberapa data yang saya perlukan untuk presentasi sampai hampir maghrib. Mas yuli, mas Angga dan dr. Anna masih berkutat dengan pasien lansia yang nampak tinggal tulang saja. Pasien tersebut barusan diketahui syok septik karena kadar asam laktat mencapai 4,1. 
 We're starving! and this is time to ifthar. Kami bertiga langsung raib untuk membeli makan. Bukan bermaksud tidak sopan, namun kehebohan di red zone membuat kami berpikir tidak seharusnya kami menginterupsi kesibukkan para dokter dengan hanya kalimat permohonan izin untuk ishoma. Saya beli tempe penyet dengan sambel gledek itu lagi, ngikut jamaah aja deh. Sekalian beliin pizza buat para punggawa red zone. Oliv tiba-tiba menelpon saya, dan complaint kenapa saya gak bisa dihubungi. Padahal HP ini nyala-nyala aja dari tadi tapi nggak tahu apa yang bermasalah. Kami ngobrol panjang lebar membahas reservasi pesawat dan hotel. Kepala saya meledak –ledak ditambahi sengatan pedasnya sambal yang disajikan tempat makan ini. sinergis amat.  Kami kembali dan langsung dempet-dempetan di bawah AC red zone karena efek "terbakar" sambel gledek.
 Shift malam berlanjut,  Lusi dan Della lebih memilih di Yellow, sedangkan saya jangan ditanya saya pasti lebih suka di Red, duduk mengirim email ke Oliv. Dan tanpa diduga saya membaca email undangan presentasi dalam event kedokteran gigi Internasional di yogya, Lecture contest IADS. Saya excited, karena hanya 11 orang peserta yang terpilih dari seluruh dunia tapi sekaligus bingung, seperti saat membaca invitation letter dari jerman dan berakhir tragis..i couldn't make it that time. Menurut saya semua sudah diatur, tidak ada yang perlu disesali, someday i'll be there, Europe in shaa Allah. Tiba-tiba dari arah belakang dr. Indifferent datang menyapa “loh ngerjakan apa ini?” saya jawab “presentasi untuk besok Dok” . “yaudah pulang aja dek, besok pagi kan presentasinya?..pulang aja udaah...” saya cuma nyengir. Gaya bercanda yang selalu garing itu mungkin ciri khasnya. Ciri khas untuk menyingkirkan koas gigi dari red zone karena jika kami ikut jaga seringkali ada malapetaka hahahaha unintentionally tentunya. Nyawa manusia  di tangan Tuhan bukan?. Saya sangat suka duduk di red zone, mendengarkan detak jantung pasien, melihat perkembangan pasien, membetulkan selimut pasien sampai-sampai saya iri setengah mati pada para perawat red zone seperti mas Ali, mas Yuli, pak Mul, mas Angga, mas Lukman yang bisa melakukan begitu banyak hal untuk membantu pasien.Sedangkan para koas gigi benar-benar tidak tahu apa-apa. kami bukan butiran debu, lebih kecil lagi, partikel debu.
Dibandingkan dengan dr. Indifferent si manusia kulkas (i'm kidding of course, i know he is very care about everything around him, He's doctor after all kekeke :D) mas-mas perawat adalah manusia-manusia perapian yang selalu memberikan kehangatan bagi pasien. Yang super sabar menurut saya adalah mas Yuli, salah satu perawat di red zone. Seperti malam ini, pasien usia 70 tahun yang mengalami TVAB, menolak BAB di popok dan bersikeras untuk ke kamar mandi. Mas Yuli tak kenal lelah meyakinkan pasien untuk BAB di tempat dan akan mengganti popoknya supaya Bapak ini merasa nyaman. Maka pemirsa, coba pikirkan dalam-dalam, pantaskah saya mengeluh jika pekerjaan saya sebagi dokter gigi akan selalu berkubang dengan air liur, bau mulut, dan darah??? lantas bagaimana dengan mas Yuli??? (Disertai adegan teriak marah kepada diri sendiri dihadapan kaca toilet dan seketika retak *LOL).  
 Pasien yang dalam keadaan SA meraung-raung  tangannya meraih pundak manusia kulkas yang berdiri disamping pasien dengan tangan bersedekap dan sikap sempurna. Mungkin sang dokter berpikir keras bagaimana pasien ini dapat mengalami ketidakstabilan heart rate yang cukup lama apa yang harus selanjutnya dilakukan untuk menyelamatkan pasien. Dua laki-laki ini orang baik, orang yang sangat baik dan dapat saya rasakan ketulusannya dalam membantu orang lain. What a kind people! What a great day!

Kamis, 7 Agustus 2014
Siang ini saya baru mengakui bahwa lirik lagu oplosan itu tidak dapat dipandang remeh. dr Anna Seleska Adiarti nampak lega setelah baru saja mempresentasikan kasus laki-laki 33 th yang mengalami methanol intoksikasi dan urung melepas nyawa setelah pemberian leucovorin secara agresif di awal. Dr. Bobi nampak sangat tertarik dengan topik tersebut dan banyak memberi masukan. Baru kali kedua ini saya ikut presentasi PPDS, yang pertama seorang residen penyakit dalam  yang membahas tentang CKD terkait hipertensi. Saya terkagum-kagum melihat bagaimana luasnya  ilmu kedokteran itu. Dalam kasus ini misal, tentu saja kasus intoksikasi alkohol akan sangat berhubungan erat dengan tingkat pendidikan, ekonomi dan keadaan sosial masyarakat. Golongan masyarakat mana yang sering minum alkohol oplosan? Tentu saja yang tingkat ekonominya rendah. Harga oplosan ini memang jauh lebih murah dari alkohol murni yang harganya mungkin sekitar 750 rb. Namun lebih jauh lagi, golongan masyarakat mana yang lebih suka minum alkohol dan hobi mabuk-mabukan? Ini akan jadi topik tersendiri. Alkohol memang telah merebak penyalahgunaannya dengan segala permasalahan yang menjadi dampak negatifnya seperti tindak kekerasan, kecelakaan lalu lintas dan banyak lagi.  
Pemberian Leucoverin tadi telah menjadi kajian baru karena sebelumnya dari 12 pasien intoksikasi metanol, hanya 4 yang selamat. Sebelumnya pasien-pasien yang selamat ini dilakukan hemodialisis, sedangkan pasien dr. Anna tidak perlu hemodialisis. Case report ini menurut dr Bobi sebaiknya diikutkan ke seminar-seminar internasional karena termasuk temuan farmakologis baru. Begitulah seorang dokter dan praktisi kesehatan yang lain, tidak akan pernah dapat beranjak dari kata belajar setiap waktu, karena selalu ada ilmu baru untuk dipelajari. Paru-paru saya mengembang, keinginan saya untuk lanjut pendidikan spesialis semakin  besar, seiring semakin besarnya keinginan saya untuk lepas dari dunia koas ini sesegera mungkin (aaminin aja deh!). Dan untuk lagu oplosan, hanya satu hal yang tidak saya sukai, yakni metode penyampaiannnya. Bagaimana mungkin pemabuk bisa bertaubat jika diceramahi oleh pemilik goyang belut setengah telanjang? *hening
Hari ini jaga malam terakhir di Tulungagung, sekaligus jaga malam terakhir saya sebagai koas gigi. Saya sangat berharap suatu saat ada waktunya saya jaga malam dan berdiri di  meja operasi menolong pasien. Rekan jaga malam kali ini adalah mas Arif dan Endy yang datang telat sehingga memicu wajah kelelahan Adel, Della, dan zarah yang harus menambah waktu shift jaga mereka. Kami disambut dengan pasien yang midriasis dan dapat dipastikan tidak lama lagi akan berpulang. Anaknya yang nampak sangat muda bersama seorang laki-laki menangis tersedu-sedu sambil berpelukan. Penanganan kegawatdaruratan sudah dilakukan, RJP 2 kali dan akhirnya pasien meninggal dunia.  Kami membantu mas Ali mengikat kaki, tangan, dan rahang mayat dengan perban. Malam ini kami harus belajar karena besok ujian EM. Saya sudah siapkan slide di HP untuk saya baca begitu pula Endy dan mas Arif. Dan kabar gembiranya adalah yang jaga dr. Anna saja. She is always seems energetic, cheerful, enthusiastic but keep respect to all. Tidak peduli supervisor, dokter lain, perawat, mahasiswa, koas, OB, transporter, she is keep down to the earth.
 Malam beranjak larut, dan kami disambangi korban KLL karena minuman alkohol, pas banget dengan bahasan jurnal pagi tadi. Head trauma dan cedera pada telinga kanan kalau tidak salah ingat. Apa yang menarik? bukan korbannya, melainkan rekan se-permainan korban (diksi yang kurang pas sepertinya) yang masih dalam keadaan mabuk. Jujur baru pertama kali ini saya bertemu orang mabuk secara live. saya tak merasa perlu dekat-dekat mengamati. Laki-laki gondrong bercelana gunung, tinggi besar bicara tak karuan, memberikan penjelasan yang sama sekali tidak jelas tentang kronologis kecelakaan. Pria ini menolak menunggu di luar Red Zone lalu tiba-tiba mengambil botol alkohol dari troly obat seakan ingin menenggakknya dan perawat langsung mengambilnya. Saya tidak habis pikir, sudah sempoyongan masih ingin minum alkohol 70% untuk antiseptik. Pria mabuk itu jelas harus mengikuti kuliah "Jenis-Jenis Penggunaan Alkohol dalam Kehidupan Sehari-hari" ditambah matkul "Tingkat Konsumsi Alkohol dan Angka Morbiditas akibat penyalahgunaannya" masing-masing satu SKS. dr. Anna nampak begitu tenang dan dengan tegas memintanya menunggu di luar. 
 Hampir jam 11 malam dan saya masih saja gagal menginfus manula (hiks). dr. Anna kemudian mengajari saya dan teman-teman mulai dari teori yang paling dasar. Kami ngobrol lepas sampai pada top level topics yaitu "what brings you here?". Banyak kisah tentang rekan-rekan yang pada akhirnya tidak meneruskan perjalanannya sebagai physician, as the main purpose you're studying medicine or dentistry, why shoud i be here? Saya berpikir panjang, sampai semua orang terlelap dan saya melek sendirian. pasien yang sebenarnya stabil tiba-tiba kritis dan akhirnya harus berpulang. Saya kaget setengah mati. My big question, jika saya yang tiba-tiba "dipanggil" berada di perjalanan seperti apa dan dalam keadaan seperti saya saat itu?. Disinilah saya merasa betapa perlunya kita punya teman atau sahabat yang sifatnya "awakening" guide us to our goals and remind us why did we start. Kami berdiskusi sampai jam 4 pagi dan sampai pada satu kesimpulan bahwa apapun jalan yang kita pilih selalu ada konsekuensi di tiap jengkalnya, kita tidak tahu di titik mana kita akan benar-benar diuji untuk survive dengan pilihan hidup kita, yang pasti pekerjaan menjadi dokter ini bisa jadi akan sangat melelahkan, ada "harga" yang harus dibayar dengan pengorbanan, and be sure, if this is your job fulfilling, you must get through this one, so be strong!"

Komentar