Cultural Gap

Senin 12 November 2012,

As usual, setelah pulkam dan menghabiskan weekend, senin pagi buta saya sudah harus balik ke Malang, kali ini ada kuliah reinforcement saliva dan urine pukul 9 pagi. Saya sudah memprediksi, dengan perkiraan perjalanan rumah-terminal bungurasih ditambah perjalanan bus surabaya Malang, ditambah lagi perjalanan angkot terminal kekontrakan, akan menghabiskan waktu sekitar 5 jam. Kesimpulannya saya harus berangkat habis subuh jam 4 pagi ga pake molor. Prediksi saya benar, sekitar setengah delapan saya sudah sampai di Malang. Masalah baru muncul ketika saya harus nunggu angkot AL yang nampaknya mulai punah dari peradaban (entahlah). setelah setengah jam berdiri dengan bawaan pulkam yang seabrek, alhamdulillah ada angkot, tapi penuh, beuh saya harus nunggu lagi...celingak-celinguk lagi. Akhirnya ada satu angkot, tapi yang ini kosong sehingga saya masih harus nunggu sampai angkotnya penuh...yah cobaan dalam menuntut ilmu memang lumayan besar. Saya sudah mulai menyiapkan alternatif terburuk, datang telat atau tidak kuliah, meski saya orang yang cukup anti untuk datang telat atau membolos, tapi melihat saat itu sudah jam delapan, saya hanya menghela napas panjang.

Saya duduk paling belakang, karena pos henti saya paling akhir dari angkot ini, sekalian saya milih duduk di samping cewek2. Alasan ini juga yang membuat saya kadang ogah naik angkot, karena besar sekali kemungkinan kita duduk dempet-dempetan dengan lawan jenis yang tentu saja bukan mahram, rikuh-risih-ga nyaman bangetlah. Beberapa menit kemudian seorang cewek bule berambut blounde memakai baju casual dengan rok corak hijau dan blouse hitam datang ke pangkalan angkot itu dan bertanya ke salah satu supir. Bule ini jelas belum lancar berbahasa indonesia, si bule berkata " blalalab ei-si" sambil melakukan gerakan antara menggaruk dengan memoles muka. Asumsi pertama saya, si bule lagi alergi sehingga mukanya gatal dan harus ke rumah sakit, asumsi kedua mungkin si bule inginke tempat body painting, asumsi si supir "mau ke kampus Brawijaya mbak?" (ini mah ga nyambung banget atuh pak :D). Melihat cultural gap yang berujung kericuhan pak kernet yang sangat nyentrik segera bertindak. Saya inget sekali pak kernet ini berambut panjang sepinggul (suer) dengan sebagian rambut diikat ke belakang dan memakai celana jeans ketat. Tapi begitu membalik badan, dua untai kumis tebal menyeruak dan menampilkan perpaduan yang sangat kontras. Beliau berkata " mbak2, mas2 yang bisa bahasa inggris ini ditolong bulenya". Seketika itu orang2 di dalam angkot yang dari tadi memperhatikan si bule, langsung buang muka. Mbak2 dengan cardigan putih membesarkan volume mp3 nyanyi2, mas2 di pojok depan melengos membuang pandangan ke arah jalan, anak SMA di samping saya langsung membuka buku paket dan tiba2 serius membaca, mbak2 di pojok belakang kiri serius bermain handphone. Sekarang saya tahu mengapa indonesia bukan negara maju. Tinggal saya seorang sekarang. Pilihannya saya pura2 ga peduli atau nolong si Bule. Akhirnya saya coba menolong.

Saya turun dari angkot dan semua penumpang yang cuek tadi tiba2 ikut menyimak. Dengan bahasa Inggris minimalis saya bertanya "excuse me, where do you want to go?" Mbak bule jawab" blalalab ei-si" masih sama tidak jelasnya. "What kind of place/institution  is that?" she replied " the place for take care handicapped children" ahh...saya lega kata kunci sudah terungkap. Saya bilang ke pak kernet bahwa mbak bule ingin ke tempat pengasuhan anak cacat sekitar sini "oalah YPAC?" tanya pak kernet "yes right". Mbak bule berkata " te-ri-ma ka-sih" dengan terbata2 "you're welcome" balas saya.Wah, ngebayangin kalo pasien saya juga orang bule....

Hikmahnya bahas inggris itu penting bagi kamu yang hidup di zaman ini. Ga peduli kita anak desa mana, kuliah atau nggak kuliah, apapun profesi kita, because we're in global era, seluruh dunia bisa kerasa kayak satu desa, so improve our language skill...

Trus gimana kuliah saya? saya nyampe di kontrakan pukul 08.51, mana sepeda kayuh lagi rusak terpaksa saya lari ke kampus dan ternyata belum dimulai, alhamdulillah.

Komentar