PARADOKS PERTAMA



Rabu, 15 juli 2015

Pertanyaan-pertanyaan ini menyesaki kepala saya. Apakah saya terlalu idealis? Atau malah terlalu mengabaikan detail yang sebenarnya justru substansial? Dalam hal berinteraksi dengan orang lain, memang selalu tidak ada ukuran yang pasti tentang nilai-nilai yang kita anut lalu diwujudkan dalam sebuah sikap. Apakah nilai-nilai itu sesuai dengan orang lain atau tidak. Kita sendirilah yang harus pintar-pitar menakarnya.  Analoginya nggak mungkin kita memberi sepatu kepada orang lain tapi menggunakan ukuran kita, tanpa mengetahui berapa ukuran sebenarnya. Tapi ada kalanya kita dengan seperangkat kewarasan penuh ditambah niat yang baik, pikiran yang jernih dan ilmu yang cukup harus mampu membedakan kapan kita mentolerir keadaan dengan alasan menghargai nilai yang dianut orang lain dan kapan tidak.

Dalam hal  baik-buruk, sesuatu yang saya yakini baik karena memang ada penjelasan logis maupun dasar hukumnya bisa jadi kurang dapat diterima orang lain. Misal dalam hal berjabat tangan dengan laki-laki yang bukan mahram. Jelas dalam islam itu tidak diperbolehkan. Tentu saya paham, belum semua muslim-muslimah mau menerapkannya. “wong cuma salaman aja apa sih susahnya? kalo gak salaman itu kesannya kaku, unfriendly, dan kurang menghormati bukan sih? apa sih efeknya? emang kalo salaman ama cowok tiba-tiba tangan kamu kebakar gitu?”. Kebakar sekarang sih nggak, ntar kalo udah di akhirat hehe. 

Andaikata kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ar-Ruyani dalam Musnad-nya no.1282, Ath-Thabrani 20/no. 486-487 dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 4544 dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 226).

Antara syariat dan budaya itu beda banget kan, kalo syariat itu perintah Allah yang harus kita taati sedangkan budaya itu buatan manusia dan nggak harus kita taati. Kalo saya pikir-pikir memang kita sebagai manusia seringkali sulit secara ikhlas langsung mau menerima perintah Allah padahal itu untuk kebaikan kita sendiri. Pasti ngeles dulu. Pasti dipilih-pilih dulu yang enak yang mana, ditawar-tawar dulu kali aja ada diskonan. Ga bisa langsung nerimo gitu. Saya juga gitu sih hehe tapi ini ga baik ya:D.

Sebagai seorang muslimah yang terus belajar, saya pelan-pelan jadi pengen konsisten dalam melaksanakan syariat ini. Namun saat hari Lebaran yang sangat identik dengan bermaafan dan bersalaman, hal ini bisa jadi sangat sulit dilakukan pada para sepupu cowok, atau tetangga yang seumuran dengan ayah saya, kesannya saya jadi kelihatan kurang sopan, atau saya dikira eksklusif padahal saya hanya berusaha melakukan yang benar. Saat orang lain yang non mahram telah mengulurkan tangan kanannya lalu saya rapatkan tangan untuk menghindari sentuhan, selalu ada ekspresi seperti orang cegukan yang kikuk-kikuk gimana gitu, air wajahnya menuliskan “gue salah ya?”. Malah saat lebaran momen-momen tak terelakkan dapat terjadi seperti ada seorang bapak yang dengan sangat antusias langsung menarik tangan saya untuk diajak berjabat. Ujung-ujungnya saya deh yang ngalah. Meskipun saya seorang karateka sabuk coklat, tapi kan nggak mungkin pake adegan nangkis bapak-bapak yang mau nyalamin saya ^^ . 
Maka dari itu, demi menjaga perdamaian dunia, jika ada seseorang laki-laki non-mahram dengan niat baik dan wajah bersinar namun belum paham ikhwal larangan bersentuhan dengan lawan jenis kemudian ia menyodorkan tangannya untuk bersalaman, saya katupkan tangan saya dalam jarak yang agak sulit dijangkau atau pake teknik kedua, yaitu kedua tangan dikerucutkan seperti akan bersalaman normal tapi ketika tangan orang lain mendekat, langsung saya tarik tangan sambil bilang “kenaaa deeh!” (abaikan yang terakhir)  tentu diimbangi senyum yang tulus ikhlas agar tidak ada kesan sombong atau eksklusif. Ini sama perkaranya dengan temen cowok sekelas yang hobi banget menepuk bahu saat memanggil saya, padahal udah diingetin baik-baik tapi teteeup aja. Atau abang kernet bis kota yang biasa banget narik tangan dan bahu penumpang cewek. Saya katakan pada abang kernet “Bang saya tahu bisnya yang itu. Nggak perlu dianter apalagi ditarik-tarik” katakan dengan sopan dan tegas. In syaa Allah bakal paham. Sekali lagi, prinsip itu penting. Sama pentingnya dengan bagaimana caranya kita men-deliver agar prinsip kita dapat diterima dan dipahami orang lain.

Komentar