Minggu, 19 Juli 2015
Hari ketiga Lebaran, ketika
penyumbat ide-ide di kepala harus segera dilepas..
Bertahun-tahun silam, ketika hidup begitu sederhana, saat kebaikan nampak
sangat benderang, kedengar hiduplah seorang pemuda yang tahun itu beranjak
dewasa hendak meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi. Anak muda ini adalah
tipikal pekerja keras, jujur, amat bersahaja, tidak suka menggosip, apalagi
bermain Get Rich karena tentu saja saat itu belum ada. Ia lalu
melangkahkan kaki ke depan gerbang fakultas kedokteran UNS Solo, namun bukan
untuk kuliah. Menyusuri pagar sambil sesekali mengantukkan jemarinya di
punggung anak-anak pagar. Laki-laki muda dengan beberapa helai kumis yang
terhunus ini melemparkan pandangan ke mahasiswa kedokteran yang lewat di
depannya. Entah apa yang dipikirkan mahasiswa kedokteran itu, mendapati
seseorang membatu di bawah sengatan matahari jam 1 siang sambil memandanginya.
Rupanya dalam hidup ini selalu ada saat Tuhan membenturkan kita untuk memilih
pilihan-pilihan yang sulit untuk dipilih atau yang paling mengerikan, tidak ada
pilihan untuk dipilih. Tono nama pemuda ini. Pembarep atau anak pertama
dari 10 bersaudara. Ayah Tono hanyalah pegawai pabrik biasa, ibu tidak bekerja,
adik-adiknya selalu kelaparan. Pemuda ini tahu, sekeras apapun ia bekerja dan menabung,
uangnya tidak akan cukup. Lagipula sekolah kedokteran saat itu membutuhkan
waktu 7 tahun, lantas bagaimana dengan nasib adik-adiknya. Hanya ada satu cara,
kuliah selain kedokteran, lulus secepat mungkin agar segera bekerja.
Tono bukanlah pemuda yang malas-malasan. Sedari kecil Ayahnya memang telah
mendidiknya dengan prinsip menanamkan kebiasaan-kebiasaan baik. Misalnya
saja tiap kali ayahnya pulang kerja, Tono yang masih 4 tahun diminta meletakkan
sepatu Ayah di rak. Besoknya diulang seperti itu. Besoknya lagi dan lagi.
Sampai akhirnya tanpa diminta Tono kecil bersiap menunggu ayahnya pulang untuk
mengantarkan sepatu ayah di rak. Sama halnya dengan kebiasaan lain seperti
menyapu halaman depan dan harus selesai sebelum matahari beranjak naik, kebiasaan
membantu ibu di dapur, dan mencuci baju sendiri. Tono tumbuh menjadi
pemuda yang penuh inisiatif dan tanggung jawab seutuhnya terhadap
hidupnya maupun hidup adik-adiknya. Akhirnya ia kuliah di sebuah
perguruan tinggi swasta jurusan teknik mesin. 3 bulan pertama, ia masih
menerima uang kiriman orang tua. Setelah itu ia menolak, nasi yang ia makan
saban hari di warteg sebelah kampus, entah mengapa rasanya makin lama makin
hambar. Papilla-papilla di lidahnya tidak dapat mengecap dengan benar
lantaran terhalangi bayangan adik-adik di rumah,” apa yang mereka makan hari
ini? Apakah seenak makananku? Atau bahkan mereka tidak makan?”. Ia kerja
seadanya, jadi kuli di toko bahan makanan, tukang kebun, apa sajalah yang
penting bisa terus kuliah.
Tuhan tahu, tapi menunggu. Menunggu apakah kita cukup berbesar hati dengan
ujian yang diberikan, kemudian yang terjadi tentu hanya ada 2 hal, kalaulah
bukan Tuhan memberi apa yang sudah lama kita inginkan, pastilah Tuhan mengganti
dengan yang lebih baik. Jauh lebih baik. Tono tidak menyangka ia akan amat
menyukai mesin dengan segala paket tantangannya. Ia lulus dengan hasil
memuaskan dan langsung bekerja di sebuah pabrik, tiap hari bertemu dengan
mesin-mesin yang kini menjadi sahabat baiknya. Tak lama setelahnya, melalui
cara yang hanya dapat diatur Tuhan, bertemulah Tono pemuda yang belum begitu
mapan karena masih menjadi pegawai honorer dengan Sumiyati, gadis dari
keluarga berada yang tidak mengenal bagaimana rasanya makan berebutan dengan 10
saudara. Barangkali Sum, begitu ia biasa dipanggil, juga tidak paham
rasanya terpuruk sebagai efek samping gagal meraih cita-cita karena Sum
selalu mendapat segala yang ia inginkan. Tapi Tuhan menjadikan hati mereka
tertaut dengan jalan yang sulit diperkirakan, akhirnya mereka menikah.
Bulan-bulan awal pernikahan Sum banyak beradaptasi dengan keadaan suaminya. Sum
tidak pernah mengeluh sekalipun. Gaji kecil namun harus cukup selama satu
bulan. Tono, sang suami sendiri yang mengajarkan Sum untuk membuat buku catatan
pengeluaran tiap hari. Mana kebutuhan yang harus didahulukan, mana yang dapat
ditunda. Sum dulu pilih-pilih makanan, sekarang ia mahir memadukan bahan-bahan
makanan sesuai besar uang bulanan yang diberikan suaminya. Tono sangat
bersyukur, walaupun istrinya berasal dari keluarga kaya, namun mau nerimo
untuk diajak hidup secukupnya dan berjuang bersama. Pasangan muda ini
akhirnya dikaruniai anak laki-laki yang sangat tampan. Tono mengajarkan
kebiasaan-kebiasaan bai k pada putera sulungnya, sama seperti orang tuanya
dulu. Kurva hidup Tono mulai bergerak naik. Ia diangkat menjadi pegawai tetap,
Sum semakin cekatan menjadi ibu rumah tangga, mereka mulai hidup dengan
penghasilan yang lebih baik. Tono tetap bekerja dengan sepenuh hati, kejujuran
dan kerja keras tak pernah beranjak dari dirinya.
Kawan, kau takkan pernah menyangka kapan kau akan menerima sejenis
doorprize, surprise, jackpot atau apa saja istilahmu terserah. Hal
yang terlanjur jadi kebiasaan saat lebaran adalah berkumpul dengan keluarga
besar, kemudian bermaaf-maafan dengan orang yang tidak jarang belum saya kenal.
Tidak kenal, tapi berani sekali bertanya “kapan nikah?”. Oleh karena itu
saya agak berseberangan saat Ayah memiliki ide spontan nan cemerlang untuk
berkunjung ke salah seorang kerabat di mojokerto. Padahal tidak ada rencana
sebelumnya. Mendengar dari tante Anis bahwa keluarga Surabaya
berbondong-bondong ke mojokerto, Ayah langsung banting setir. Saya sama sekali
tidak antusias. Elemen introvert dalam darah saya kadang mencuat dan
mengakibatkan saya enggan berada di kerumunan manusia demi sekedar alasan
“pantes-pantesan”. Saya tahu ini hari Lebaran dan sudah pasti kita akan bertemu
keluarga besar setahun sekali, spending a quality time. Tapi kadang quality
time ini diisi dengan menjabarkan secara rinci dan berlebihan tentang
pencapaian-pencapaian diri dan prestasi anak dll, itu yang kurang saya sukai.
Bada maghrib kami berempat langsung meluncur ke Mojokerto, masih harus
cari-cari jalan juga, yasudalah. Akhirnya sampailah kami di tempat tujuan. Para
kerabat, budhe dan pakdhe dari keluarga Ayah, secara fisik sama. Tinggi besar,
hidung mancung, tipe kepala dolikosefalik, profil leptroskop, profil cembung.
Sehingga mudah sekali menandai mana yang keluarga mana yang bukan. Acara
selanjutnya salam-salaman, makan opor, tanya kabar, makan kue, tanya kapan
nikah. Begitu saja. Saya hapal urutannya. Karena kami tamu yang paling terakhir
datang, kami pun harus terakhir pulang. Tidak pernah saya duga, saya akhirnya
mendapat doorprize malam itu.
Tuan rumah yang saya kunjungi begitu ramah, biskuit oatmelnya begitu enak,
desain rumah bergaya natural yang dengan banyak ornamen berbahan kayu, cukup
membuat saya betah. Pakde Tono berusia kurang lebih 65 tahun menggunakan batik
hijau zamrud lengan pendek, dan istrinya Budhe Sum berusia kira-kira 60 tahun
memakai gamis coklat dan khimar kuning sepanjang perut. Saya belum pernah
berkunjung kesini, biasanya bertemu di tempat lain saat lebaran. Tanpa perlu
berkata-kata, dari cara mereka berinteraksi, dari cara Budhe mengambilkan kue
untuk suaminya, jelas terlihat betapa mereka saling menyayangi. Pakde Tono
menceritakan bahwa beliau sudah pensiun bertahun-tahun lalu, namun sekarang
masih disibukkan sebagai anggota tim audit perusahan pabrik gula sambil
sesekali mengisi seminar di berbagai kota, berbagi ilmu kepada perusahaan yang
sedang penyakitan agar dapat segera pulih. Gaji sebagai seorang konsultan bisa
sedikit, bisa tinggi sekali, bisa tidak dibayar. “Tapi Pakdemu itu senang aja
kalau bisa membantu orang lain, jadi ya di jalani” ucap Budhe Sum. Wah betapa
hidup yang menyenangkan, pikir saya.
Kami ngobrol lepas. Ayah saya bercerita bahwa tidak pernah menyangka
bisa sampai di titik ini dan beliau benar-benar merasakan betapa Allah selalu
mendengar doa-doa beliau untuk keluarganya. Saya tahu betul bagaimana
perjalanan hidup Ayah saya. Jika kita seringkali terpukau melihat bagaimana
tangguhnya para peserta kompetisi Ninja Warrior melewati tantangan demi
tantangan, maka hal itu tidak dapat saya bandingkan dengan kegigihan Ayah membuat
lompatan besar dalam hidupnya. Akhirnya Pakde Tono juga menceritakan perjalanan
hidupnya yang tak kalah pahitnya seperti perjuangan Ayah saya. Tirakat, begitu
kata beliau. Saya malu luar biasa. Belum mandiri secara finansial di usia
seproduktif ini, hati saya serasa kusut. Masih sangat tergantung dengan orang
tua, saya merasa belum menjalani kehidupan dengan sebenarnya. Di lingkungan
masyarakat sekitar dan perusahaan, Pakde Tono terkenal karena kesederhanaan,
kerja keras dan sikap jujurnya. Beliau masuk tim audit dengan kontrak 2 tahun,
padahal umumnya untuk menghindari celah terjadinya penyuapan/gratifikasi,
kontrak hanya 1 tahun. Setelah kontrak habis diulang 2 tahun kontrak lagi.
Beliau sama sekali tidak berubah. Sebagai salah satu petinggi perusahaan bahkan
sekarang menjadi kepala tim audit beliau tetap menyapu halaman rumahnya
sendiri(padahal ada tukang sapu sendiri), mengantar istri kepasar naik motor,
berangkat kerja seringkali tanpa supir(padahal punya supir pribadi). Budhe Sum
juga begitu, di rumah tidak ada pembantu karena sudah terbiasa bekerja sama
dengan pakde Tono membereskan pekerjaan rumah sendiri. Keluarga teladan banget
lah..
Pakde rupanya juga sering menerima mahasiswa yang sedang magang di
perusahaan. Ditanyai satu-satu tentang motivasi mereka dalam bekerja, usut
punya usut ternyata cukup banyak mahasiswa yang bekerja tidak sesuai passion
mereka. Sama halnya dengan rekan-rekan saya, juga ada yang sebenarnya tidak
ingin menjadi dokter tapi sudah terlanjur telat untuk putar balik. Padahal
menurut pakde ada tiga hal dasar yang sangat menentukan hidup seseorang yaitu
pilihan pendidikan, suami/atau istri, dan tempat tinggal. Jika kita salah pilih
dalam menentukan salah satu dari 3 hal tersebut, mungkin kita takkan pernah
membayar penyesalan seumur hidup kita. Suasana jadi makin tegang, kami semua
menyimak dengan khidmat penjelasan Pakde. Yang pertama adalah pilihan
pendidikan “ Kenapa mbak kok milih jadi dokter gigi?” saya agak gelagapan saat
ditanya, karena ceritanya bisa panjang sekali, bahkan rencananya saya
jadikan novel. Saya jawab “saya suka menemukan masalah yang menjadi
penyebab penyakit di tubuh pasien kemudian menyelesaikannya, saya juga suka
bertemu pasien dan mengubah pola pikirnya tentang kesehatan, dan tentunya
dengan menjadi dokter saya dapat lebih lebih menyandarkan diri pada kekuasaan
Allah swt”. Jawaban saya agak berantakan. “loh, kalo mau merubah pola
pikir kok nggak jadi guru saja?” timpal Beliau. “Sebenarnya saya juga pengen
jadi dosen” jawab saya jujur mengingat saya juga merasa senang sekali bisa
berpartisipasi di Dentistry Study Club. “Nah itu udah keliahatan kan
dari jawaban sampeyan, nanti arahnya kemana” jelas Beliau.
Obrolan kami begitu mengalir. Akhirnya sampai pada topik paling happening
untuk anak muda seusia saya yaitu perihal jodoh. Nyatanya tatanan kata dalam
suatu kalimat dapat menghasilkan efek yang sama sekali berbeda. Pertanyaan
“kapan nikah mbak?” kesannya lebih teknis dan selalu berhasil memberikan
komplikasi berupa perut mual, kepala pening dan sariawan generalisata,
lain ketika saya disodori oleh Pakde Tono pertanyaan “Mau pilih calon suami
yang seperti apa mbak?” ini membuat saya lebih berpikir tentang kriteria suami
ideal. Jawaban saya terlalu idealis deh kayaknya..Pakde Tono lantas
meluruskan, “kalau dari pengalaman Pakdemu ini, ada dua hal yang paling penting
yaitu agamanya dan dapat menerima kita apa adanya. Ya kayak Budhemu
ini”. Tidak sengaja saya lihat Budhe nampak tersipu di pojok sana. Apa adanya
bukan berarti kehilangan semangat untuk terus membenahi diri. Budhe Sum dapat
menerima keadaan pakdhe yang saat itu masih serba kekurangan, mereka berdua
telah menjalani transformasi besar dalam hidupnya. Mereka menata hidup bersama,
memelihara nilai-nilai kebaikan bersama. Pakde merasa prihatin dengan anak muda
zaman sekarang yang masih ogah-ogahan untuk mengerjakan pekerjaan rumah.
“secerdas apapun di sekolah, setinggi apapun prestasinya, tapi kalau tidak
pernah punya insiatif mencuci piring dan mencuci baju sendiri di rumah ya
kurang dapat saya yakini ia dapat mandiri seutuhnaya. Pekerjaan rumah bukan
hanya tanggung jawab perempuan loh..” saya teringat bagaimana ayah dulu
mengharuskan saya yang masih kelas 5 SD harus mencuci baju sendiri dengan
tangan. Kalau masih kotor diulang lagi mencucinya. Waktu itu saya marah karena
kecapekan, namun sekarang bersyukur karena ayah telah menanamkan kemandirian
pada anaknya.
Malam makin pekat, mata adik saya semerah saga dan ia telah menguap
berulang kali. Kami pamit pulang, walaupun sejujurnya saya masih ingin
mendengar cerita dari Beliau. Tidak pernah saya duga bahwa dinasehati bisa
semenyenangkan ini. Dan nasehat yang berharga telah membuat saya merasa 10
tahun lebih muda tanpa polesan krim anti-aging. Kata-kata Pakdhe dan
Budhe telah saya bungkus rapat-rapat dalam kemudian saya masukkan dalam saku.
Agar jika suatu hari saya butuhkan, dapat diambil lalu dibenamkan dalam kepala
saya. Lebaran hari pertama yang begitu berkesan.
Komentar
Posting Komentar