Inginku Jadi Menteri


Masytah Dyah Asti
Malang, 2 tahun lalu saat pohon-pohon meranggas

Sinar matahari di penghujung hari mengemas warna cemerlang di langit barat. Asap-asap kendaraan masih mengepul, mengganggu pernapasan masuk hingga ke alveolus paru. Para pedangang asongan menghamburi jalan raya dengan tujuan mulia: mencari nafkah. Lengkingan klakson saling gertak memekakkan telinga. Belum lagi para pengemis dan gelandangan dengan pakaian khas mereka yang menambah kepiluan hanya dengan melihatnya. Kini, udara mengawini asap kendaraan, bau badan pengasong, pengemis dan gelandangan. Semua ini adalah pemandangan lazim kemacetan ibukota. Salman menekan-nekan dahinya. Penat nian pikirannya setelah perbincangan di rumah tadi. Entah apa bisa disebut perbincangan. Nyatanya Salman yang sebagai “tersangka utama” lebih banyak diam.
“Masih belum rampung, Man?” tanya Bapak Salman sembari membolak-balik koran.
“Belum Pak” Salman nyengir
“Teman sebangkumu waktu SMA, si  Faris, sudah kerja di kantor Bupati. Kamu kapan lulusnya, Man?” nada bicara Bapak terdengar lebih seperti keluhan daripada pertanyaan.
“Dari zaman Jepang kok ngerjakan skripsi terus. Sebenarnya skripsi itu berapa lembar toh Man?” Ibu yang sedang mengaduk teh ikut menimpali dengan logat jawa medok yang terang-terangan tak  bisa ditutupi.
“Kamu itu sudah tua, harusnya lebih serius!” Bang Fadli berusaha menunjukkan  kewibawaannya sebagai anak tertua tapi malah memperburuk suasana.
“Iya nih, Bang Salman payah! Nia sampai lulus SMA, Abang belum lulus juga”
Salman memelototi adiknya.
Komentar seluruh anggota keluarga bak puluhan anak panah yang menghamburi punggung Salman. Keadaan ini menimbulkan efek pening berdurasi lama yang hanya bisa diobati dengan menenggak 3 butir pil analgesik.
Yang Salman alami, membiarkan kuliah terbengkalai sama halnya dengan membiarkan dirinya diomeli tiap hari. Teutama saat di meja makan, sebelum dan sesudah makan, efektif menekan nafsu makannya. Karena bagi keluarga Salman, anak lelaki berusia 25 tahun belum mendapat kerja apalagi belum lulus kuliah adalah sesuatu yang memalukan.
            Salman pernah berdalih. “Di luar sana banyak pengusaha yang ternyata tidak kuliah, dan mereka sukses!”
            “Mereka tidak kuliah karena tidak punya uang, lha kamu serba berkecukupan. Dan asal kamu tahu Man, pengusaha sukses yang dulunya kuliah juga banyak!!!” Bang Fadli memang berbakat memperburuk suasana.
 Tatapan sinis seluruh anggota keluarga memaksanya untuk segera menyelesaikan semua ini. Apalagi Profesor Budiman, dosen pembimbingnnya telah mengultimatum Salman dengan memberinya batas terakhir pengajuan judul adalah minggu depan. Lewat dari itu tamatlah riwayatnya. Entah berujung menjadi penjual pulsa, pengangguran kudisan, atau yang paling mengerikan TKI yang dibantai majikannya. “Plakkk!!!”. Bayangan TKI yang digampar majikan berkelebat di pikiran Salman. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Akhirnya ia pamit keluar rumah mencari pencerahan. Barangkali di luar sana ada sesuatu yang bisa dijadikan judul.
Sebenarnya Salman bukannya tidak berusaha, hanya berulang kali keadaan memaksanya mengganti judul skripsinya hingga 15 kali. Entah karena Prof. Budi yang terlalu  perfeksionis, Karena Salman yang terlalu pesimis, atau memang terlalu banyaknya sarjana manajemen di negeri ini hingga sudah tidak ada lagi permasalahan yang bisa dikaji. Mulai dari ilmu manajemen yang bersifat konseptual sampai yang bersifat operasional. Pastinya bukan hanya Salman yang merasa bosan, dosen pembimbing, dekan, pembantu dekan, teman-temannya di kampus, penjaga kantin, bahkan tukang kebun juga merasa bosan melihat Salman.  
Bukan pencerahan yang didapat malah kelelahan akibat kemacetan tiada berujung. Kaki Salman lelah menahan motor dengan tubuhnya. Tiba-tiba dari arah belakang, seorang anak kecil penjual koran berbadan kurus tinggi menawarkan barang daganganya. Tulang selangkanya menonjol secara mengibakan karena saking kurusnya. Usianya sekitar 14 tahun. Pakaian anak ini sangatlah sederhana. Tampak kelewat sederhana jika tidak ingin mengatainya gembel. Anak ini mengenakan celana panjang hitam yang lusuh dengan beberapa tambalan kain, kaos pendek abu-abu dengan motif “lubang-lubang kecil” di sana-sini. Ia menenteng ransel, dan tak lupa topi biru SMP menutupi kepalanya. Koran-koran bergelayutan di tangan kanannya.
Hari hampir gelap tapi masih saja berjualan. Salman menggelengkan kepalanya. Sedang tak tertarik membaca koran. Bukannya menyingkir, anak ini justru malah melebarkan korannya, agar tampak jelas apa saja berita yang tertera. Jemari tangan yang satunya membentuk angka tiga. Mungkin maknanya “Cuma tiga ribu lho Bang ayo beli...”.Dia melakukannya sembari mengangkat dua alisnya dengan ekspresi jenaka. Salman luluh juga melihat usaha anak ini.
“Siapa namamu?” Tanya Salman sambil menyodorkan uang.
‘Udin Bang” jawabnya. Senyumnya terlalu lebar hingga menampakkan gigi gerahamnya. Nampaknya anak ini mesti belajar manajemen senyum.
“Nama panjangmu bukan Nazaruddin kan? Namaku Salman.” Mencandai loper koran entah ide macam apa ini.
“Bukan Bang” nyengir lagi tak kalah lebarnya.
“Tak habis sepertinya jualanmu?”
“Iya Bang. Minat masyarakat untuk membaca koran makin hari makin turun. Entah karena masyarakat sekarang tak peduli lagi akan apa yang terjadi di sekitarnya, atau memang mereka tak punya duit. Mau seperti apa wajah Indonesia di masa depan jika masyarakatnya saja enggan membaca!” katanya dengan menggeleng-gelengkan kepalanya. Cukup mengherankan, gaya bicara anak ini seperti pengamat politik saja.
“Kamu nggak sekolah Din? Kok jual koran?”
“ Sesekali hampir nggak sekolah  Bang.  Tapi Alhamdulillah, Bapakku berusaha keras supaya Aku bisa tetap sekolah. Sampai sekarang aku kelas 2 SMP. Yah, Udin bantu-bantu sedikitlah Bang”
Terbaca raut kebahagiaan di wajah Udin. Hanya sekedar karena dia bisa sekolah. Hal yang tak pernah Salman syukuri.
“Saya keliling lagi ya Bang” Udin pamit.
Salman pulang dengan pikiran hampa. Namun ia masih harus menemukan cara bagaimana menghadapi Prof. Budi minggu depan.
***
Suatu siang di hari minggu, ketika sengatan panas matahari sudah tak mau diajak kompromi lagi, Salman kembali bersua dengan Udin. Di kejauhan Udin nampak mengelus-ngelus leher depannya. Tenggorokannya pasti kering, jauh dari air setelah seharian berteriak-teriak menawarkan koran.                                                     
“Din, minum dulu yuk, kesitu” Ajak Salman. Menunjuk ke sebuah gerobak es cendol. Udin mengiyakan.
Mereka berdua duduk di bangku kayu reyot, langsung disambut senyum penjual cendol yang menampakkan gigi-gigi hitamnya. “Pasti jarang sikat gigi ...“ gumam Salman dalam hati, sedikit tidak nyaman dengan penyambutan itu.
 “Capek Din?”
 “Sudah biasa Bang. Kesibukan membuat kita lelah, waktu luang membuat kita rusak”
Salman tersedak mendengar jawaban si Udin. cendol terasa masuk ke saluran yang salah. Teringat berapa banyak waktu yang digunakannya untuk bermain playstation.
“Abang kuliah jurusan apa?
“Manajemen, Din.”
“Woaah, itu keren sekali. Udin sangat mengagumi Pak Rhenald Kasali, pakar manajeman pemasaran itu.” matanya tampak berbinar.
Udin anak yang sangat serba ingin tahu. Ia bertanya ini dan itu tentang ilmu manajemen. Ia sama sekali tak terpengaruh reaksi Salman yang tak lagi antusias berbicara soal kuliah karena suntuk dengan tugas akhirnya.
            “Semester berapa Bang?”
            “Ehm....semester akhir” Salman menjawab dengan ragu.
Semoga ini benar yang terakhir. Sebenarnya ia sendiri lupa berapa jumlah semester yang telah ia lewati. Salman segera mengganti topik pembicaraan.
“Semua ini karena pemerintah yang korup. tak bermoral. hingga anak-anak sepertimu kesulitan bersekolah. Jangan salahkan rakyat yang makin hari makin benci dan apatis.”
            Salman terdengar emosional seperti Ibu-Ibu yang melakukan demo karena kenaikan harga sembako.
“Aku tidak membenci pemerintah Bang. Daripada aku habiskan tenagaku untuk mencaci-maki pemerintah, lebih baik kugunakan untuk  belajar dan berusaha memperbaiki bangsa ini”
“Lantas bagaimana dengan para koruptor itu? Kamu rela kalau biaya pendidikan di korupsi??!! ”
“Bapakku pernah bilang, biarlah itu menjadi urusan mereka dengan Tuhan. Yang paling banyak korupsinya, paling lama dihisab di akhirat nanti.”
Mendengarnya, sontak Salman tergelak luar biasa.
“Sayangnya para koruptor mungkin sudah melupakan keberadaan Tuhan Din” Menggelikan bagi Salman membayangkan ia mengkhotbai koruptor soal akhirat.
“Sebenarnya yang sekarang diperlukan Indonesia adalah ilmu Abang...” Udin berucap dengan khidmat. Setan pengamat politik menari-nari di pikirannya.
“Maksudmu manajemen?” Salman mengaitkan kedua alisnya.
“Yap!. Tepatnya manajemen bangsa.”
“Apa maksudmu?” Alis kanan Salman kini terangkat.
“Di saat negara-negara Asia lain sedang sibuk berbenah diri, kita justru masih saja sibuk melepaskan belenggu-belenggu yang bukannya makin mudah terlepas tapi makin erat saja ikatannya. Belenggu-belenggu ini menjadi semacam nilai-nilai negatif yang bermunculan akibat transisi sistem pemerintahan yang semula terpusat menjadi otonomi daerah.
Mata Salman meliar. “Contohnya?”
“Nilai-nilai ini akhirnya menjadi budaya transisi yang negatif seperti budaya jalan pintas, budaya konflik, budaya mencela, budaya curang, budaya tidak tahu malu, budaya popularisme, budaya malas, budaya menunda...”
Mendengar kata malas dan menunda Salman menelan ludah.
“Selain itu masyarakat kita sekarang menjadi masyarakat yang transaksional dan Suspicious. Masyarakat transaksional punya slogan “aku punya apa aku dapat apa”. Bagaimana mungkin mereka mau berkorban demi Indonesia. Masyarakat Suspicious, penuh kecurigaan, sehingga siapa saja yang duduk di kursi pemerintahan akan sulit memperoleh kepercayaan. Rasa curiga pun mulai berkembang antar kelompok masyarakat sendiri, jadi bagaimana mungkin ada persatuan?”                         
            “Solusinya?” Nada bicara Salman meninggi.
            “Manajemen bangsa berkaitan dengan manajemen di bidang politik, ekonomi, sosial dan lainnya. Manajemen bangsa  juga melibatkan dua pihak Bang, masyarakat dan pemerintah. Itu artinya, masyarakat dan pemerintah harus sama-sama merubah budaya-budaya negatif tadi dan..”
“Itu telalu abstrak. Bangsa ini perlu langkah  konkret!” Salman muntab. Jelas-jelas ego sektoralnya tersindir. Tak sudi Salman membiarkan bidang yang telah “digelutinya” selama bertahun-tahun kini harus dimentahkan anak semuda Udin.
 “Baik, akan Udin beri contoh. Dalam bidang ekonomi, pemerintah juga harus belajar manajemen bangsa. Menurut banyak pihak, pendapatan per kapita Indonesia sudah mencapai 3000 US Dollars per tahun. Walau masih banyak juga yang menyangsikannya, itu karena Indonesia merupakan dual economy, orang kaya banyak tapi orang miskin juga banyak. Dengan kecenderungan pendapatan per kapita meningkat, kebutuhan barang-barang konsumtif pun meningkat. Lha disinilah managemen diperlukan”
 “Pemerintah terlalu berkosentrasi pada ekonomi makro, sepeti kebijakan fiskal dan moneter. Tapi ternyata ekonomi makro dan manajemen punya perbedaan dalam membaca pasar. Misalnya ekonomi makro bicara mengenai aggregate demand. Sedangkan manajemen marketing mengenai segmented demand. perekonomian yang memberikan subsidi pada aggregate demand. Kepada total market. Bensin murah. Udin pikir itu tidak adil. Masa’ orang kaya dapat subsidi yang sama dengan supir bis, supir angkot, dengan orang yang jualan sayur? kan tidak adil. Semuanya disubsidi. Itu kan haknya orang miskin. Dengan kata lain, subsidi itu harus segmented. Cuma pemerintah belum menemukan caranya . Karena mereka menggunakan cara makro untuk membaca segmentasi. Jika ini diwujudkan, maka Pemerintah bisa kembali mendapatkan kepecayaan rakyat, karena rakyat merasa mendapatkan keadilan. Intinya Pemerintah harus melakukan perubahan dalam pemikiran Bang.“
Salman mulai berpikir harusnya  Udin tak memikirkan hal-hal semacam itu. Ini terlalu jauh untuk anak kelas 2 SMP. Kapasitas intelektual yang  istimewa. Entah darimana anak ini mendapat kata-kata itu.
“Lalu kamu sendiri, apa yang akan kamu lakukan?” Salman berusaha mengerem emosinya.
“Berarti sekarang menjadi tanggung jawab kita Bang sebagai generasi muda. Negeri ini sedang rindu teladan. kita benahi diri kita dulu. Kita hapuskan budaya korupsi, budaya curang, budaya mengeluh, budaya boros, budaya jalan pintas dan budaya malas. Kita pelihara budaya kejujuran, kerja keras, bekerja dan berpikir efektif, integritas, loyalitas. Menjadi bangsa yang religius, moralis, intelek. Bayangkan jika seluruh penduduk Indonsia mengubah fokusnya pada penyelesaian, bukan pada masalah dan konflik.  Aku yakin masih banyak anak muda yang peduli pada Indonesia yang nantinya bisa membenahi ini semua.”
“Aiih...jawabanmu terlalu diplomatis” Salman terang-terangan meremehkan pemikiran Udin.
“Bukan diplomatis, tapi optimis. Tanpa Abang sadari, orang-orang seperti Abang inilah yang menghambat perbaikan Indonesia, jadi segeralah bertaubat Bang!” katanya sambil tersenyum tanpa rasa berdosa. Salman geram namun juga kagum dengan semangat Udin.
 “Bagaimanapun  keadaannya, Indonesia adalah bangsa kita, tanah mutiara dimana kita dilahirkan, yang harus dibela habis-habisan. Tunggu saja nanti kalau aku jadi menteri” mendengar celetukan  terakhir Udin, Salman kaget bukan kepalang.
“KAU? ??INGIN JADI MENTERI???” melonjak bathin Salman dibuatnya.
“Apa yang salah dengan hal itu? Untuk memperbaiki sistem kita harus masuk ke sistem kan? Aku paham benar keadaan keluargaku, tapi paling tidak, terlalu awal untuk pesimis. Ada Tuhan yang Maha Kuasa yang bisa menjawab doa dan usaha kita” Udin tersenyum lebar lagi. Seolah dia dilahirkan hanya untuk tersenyum.
Salman merasakan sesuatu berdesir dalam dadanya. Seperti ada sesuatu beridentitas asing mendatangi dirinya, merambat keseluruh sendi-sendi, sesuatu yang membuka apa yang sebelumnya tertutup yakni pikiran positif dan optimisme. Ternyata optimisme begitu cepat menular, begitu juga pesimisme. Sebuah penelitian mengungkap bahwa dari 60.000 pikiran manusia, delapan puluh persennya adalah pikiran negatif. Pikiran yang membuat kita berprasangka buruk terhadap segala sesuatu, dan yang paling parah, terhadap Tuhan.
Salman mengutuki dirinya sendiri. Dia hampir lupa apa tujuannnya kuliah dulu. Bukankah ia ingin jadi manajer yang handal? Yang memimpin sebuah perusahaan sehingga bisa menyejahterakan masyarakat? Lalu kenapa justru keinginan itu makin sulit saja terwujud? Kini ditelanjangi habis-habisan oleh seorang penjual koran. Anak kecil pula. Ia menghela nafas, dalam...sangat dalam. “Aku bisa berubah menjadi lebih baik, negeri ini juga”
“Tapi bagaimana kau begitu tahu Semua ini Din?” masih penasaran.
“Apa gunanya setiap hari menenteng berlembar-lembar koran kalau tidak dibaca Bang? Udin sangat tertarik membaca buku-buku Pak Rhenald Kasali. Udin juga sering meminjam buku lain di perpustakaan kota” Salman menggaruk-garuk kepalanya.
Diam sebentar Salman berusaha mencerna baik-baik apa yang terjadi. “manajemen bangsa...tsah!” Karena begitu tertegunnya mendengar apa yang diucapkan udin sampai ia tak memperhatikan cendolnya hampir tumpah.
            Adzan dzuhur berkumandang.
“Cendolku sudah habis Bang. Aku mau sholat dulu kemudian berkeliling lagi. Terima kasih”
“Baik, pergi sana Pak menteri! Cari uang yang banyak!” Jawab salman dengan jemari seperti orang hormat bendera. Pengalaman siang ini, sekilas, tapi mengayakan.
***
            “Udin mana, Tok?” Sudah hampir sebulan Salman dan Udin tak berjumpa. Salman ingin mengabarkan judul skripsi yang ia ajukan diterima oleh Prof. Budi, dan itu tak lepas dari perbincangan mereka tempo hari tentang manajemen Bangsa. Tapi yang Salman temui hanya Totok , teman Udin sesama penjual koran. Mencium gelagat yang tak baik Salman bergegas minta diantarkan ke rumah Udin.
Untuk sampai ke rumah Udin mereka melewati jalanan yang penuh dengan gundukan sampah dan rongsokan. Pemukiman kumuh. Sepanjang perjalanan, Totok bercerita tentang kehebatan Udin yang selalu bertahan sebagai pemegang tahta ranking satu paralel. Udin tidak hanya hafal dasadharma pramuka dan rukun iman, tapi juga menerapkannya dalam  kehidupan. Udin yang paling cepat khatam Alquran, paling rajin sholat, mandi dan gosok gigi. “Kecerdasannya melebihi Presiden, Bang” kata Totok melebih-lebihkan. Salman makin mengagumi sobat kecilnya itu.
            Mereka sampai. Terpekur Salman memandangi rumah Udin. Entah masih layak disebut rumah atau tidak. Karena seluruh elemen yang menyangganya hanya ada kardus, kardus, dan  kardus. Seolah bisa roboh hanya karena orang bersin. Mengagumkan sekaligus miris, bagaimana rumah se”minimalis” ini bisa melahirkan anak secerdas Udin.
“Ibu sakit TBC...”Udin menunduk lemas. Seolah yang diungkapkan membebani paru-parunya. Walaupun seringkali nampak kuat menjalani hidup di jalanan, bagaimanapun Udin tetap masih terlalu kecil menanggung semua ini. Dia nampak makin kurus saja. Senyum lebarnya yang khas seperti takkan muncul lagi.
“Apa kau makan cukup Din?” Salman bingung hendak bertanya apa.
            “Alhamdulillah...”
“Lalu kau berhenti sekolah?” Salman melontarkan pertanyaan bodoh.
“Lebih baik tidak makan daripada tidak sekolah Bang. Untuk sementara aku berhenti. Tapi aku janji akan menuntaskan sekolahku.”
Lihatlah, hari ini kemiskinan negeri kita hampir merenggut cita-cita seseorang. salah siapa ini? Salah siapa???. Gumam Salman dalam hati.
“Kalau aku jadi kau mungkin aku sudah menyerah” Salman ikut-ikutan menunduk.
Udin menoleh cepat. “ Bang! itu bukan kalimat penyemangat yang baik!” Protesnya
“Ups...maafkan aku Din. Jadi kau mau melanjutkan sekolahmu sampai akhir?”
“Kalau aku menyerah sekarang , dulu aku tidak akan memulainya”
Salman tidak menyangka. Inilah kali terakhir dirinya bertemu dengan sobat kecilnya, Udin.
***
Genderang perang ditabuh. Bendera samurai merah berkelebatan di hati Salman. “Aku harus lulus tahun ini” tekadnya. Berminggu-minggu Salman mengunci diri di kamar menyelesaikan tugas akhirnya. Tujuh hari tujuh malam tanpa tidur yang benar. Berkutat dengan buku- buku tebal dan laptop. Rambutnya awut-awutan seperti orang tersambar angin topan. Ia hanya keluar kamar untuk makan. Mandi pun jarang. Atau sekedar ke perpustakaan kampus untuk sekedar memperkaya referensi. Hari ini jadwal bimbingan skripsi terakhirnya dengan Prof. Budiman. Setelah itu Salman tinggal mendaftar ujian skripsi dan ah....tuntas sudah perjalanan panjang ini.
***
Udin kembali ke sekolah. Kembali menjadi bintang kelas. Semangatnya untuk mencerna ilmu makin menggebu, nafsu belajarnya makin tinggi lantaran ada tawaran beasiswa melanjutkan pendidikan ke SMA yang ditawarkan pihak sekolah. Udin sekarang bertekad, dimanapun ada beasiswa melanjutkan pendidikan, akan ia kejar. Karena hanya inilah satu-satunya jalan agar ia bisa mewujudkan impiannya. 
***
Seusai lulus ujian skripsi, Salman merasa tahu kepada siapa ia harusnya berterima kasih. Ia menyusuri tempat mangkal Udin jualan koran, tidak ada. Mencari di rumahnya, tidak ada. Di sekolah, tidak ada juga. Di selokan, apalagi. Anak ini raib kemana?. Kemudian, si Totok teman Udin, memberi tahu Salman, bahwa Udin sudah tidak tinggal disini lagi. Semenjak kematian Ibunya tiga pekan lalu, ia dan Ayahnya pindah entah kemana. Tidak seorangpun tahu. Ada rasa ngilu yang menyesaki dada Salman. Ibunya meninggal, bagaimana aku bisa tidak tahu?.Kita belum berbincang banyak tentang bagaiman kelanjutan manajemen bangsa itu...aku bahkan belum sempat berterima kasih atas begitu banyaknya pelajaran hidup yang kau berikan. Udin...Indonesia beruntung memiliki anak bangsa sepertimu...yang selalu optimis akan masa depan Negara ini. Sepanjang jalan pulang Salman menjejali hatinya dengan penyesalan.

***
30 tahun kemudian....
Prof. Salman dan keluarganya sedang menekuri tayangan berita di televisi. Tentang pencapaian kabinet pemerintahan Indonesia yang telah berjalan dua tahun. “Kabinet Kejujuran”. Pandangan  Prof. Salman tertuju pada menteri termuda di kabinet baru ini. Fachrudin Ar-Rasyad, menteri perhubungan. Usianya baru 37 tahun, namun Ia telah berhasil  merubah wajah transportasi Jakarta. Seluruh transportasi sekarang dititikberatkan menggunakan kereta bawah tanah. Sehingga, mengurangi angka kemacetan ibukota hingga lima puluh persen. Rencananya Salman akan menemui menteri muda ini pekan depan. Mereka hendak membicarakan  manajemen transportasi air di Ibukota.
“Assalamualaikum, Prof” Pak menteri yang lebih muda terlebih dulu menyapa Salman.     
“Walaikumsalam”
Salman dan Sang menteri berjabat tangan.
“Silakan duduk”
diam sejenak.
            “Profesor, Saya sangat mengagumi tulisan-tulisan anda dan mengikuti berbagai dialog Anda di media, Saya juga seringkali membaca buku-buku yang anda tulis. Bahkan saya hafal semua judulnya di luar kepala”
“Oh benarkah? Luar biasa, bahkan Istri saya tidak hafal satupun judul buku saya”
Tawa membahana di kantor kementerian perhubungan.
“Setelah kepulangan Anda dari Amerika, Seakan anda membawa hawa segar bagi ilmu manajemen di Indonesia. Apakah ini semua merupakan bagian dari  resolusi manajemen bangsa?”
“Iya itu benar. Tapi... Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Memang belum...tapi berkat seseorang yang nampaknya begitu mengagumi karya anda lalu kemudian sering bercerita tentang manajemen bangsa pada kami, para menteri”
“Oh ya? siapa?”
Seseorang mengetuk pintu.
“masuk” kata Pak menteri Fachrudin yang segera bangkit dari duduknya. Rupanya Presiden beserta beberapa pengawal memasuki ruangan. Kali petama ini Salman bertatap langsung dengan Presiden Indonesia sekarang, Najamudin Al-Ghifarry, beliau  berperawakan tinggi besar dan mengenakan baju batik. Mereka berjabat tangan seolah kerabat lama saja. Orang ini ramah, tanpa mengurangi kewibawaannya sedikitpun sebagai orang nomer satu di Republik ini.
“Jakarta sudah tidak macet lagi kan, Prof. Salman? Bukankah pendidikan anak yang tidak mampu sekarang sudah lebih baik? Pedagang koran bisa kuliah gratis sampai S3. Ahh..iya, saya sangat berterima kasih atas semua kontibusi dan pemikiran hebat Anda selama ini untuk Indonesia.” Pak Presiden seolah terus memberi petunjuk akan sesuatu.
“Sudah lama sekali tidak berjumpa. Tidak ingin mentraktir es cendol lagi....Bang Salman?” lanjut Presiden. Tunggu dulu...ah mana mungkin. Suatu kenangan indah tentang anak penjual koran berkelebat dibenakknya, memberanikan Prof. Salman bertanya,  “Maaf sebelumnya, Anda U-DIN?” mata Salman terbelalak tak percaya. 
Sang Presiden tersenyum. Senyum pembenaran.

-SELESAI-

Komentar